top of page
Search

BPR SYARIAH MINTA PERLAKUAN SAMA DALAM PELAYANAN JASA LALU LINTAS PEMBAYARAN


JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar persidangan pemeriksaan pendahuluan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Rabu (6/4/2022). Sidang perkara Nomor 32/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan (BPR Syariah HIK Parahyangan).

Materi yang dimohonkan pengujian yaitu Pasal 1 angka 9, Pasal 9 ayat (2) huruf a, Pasal 13, Pasal 14 ayat (10), Pasal 21 huruf d, dan Pasal 25 huruf b, dan huruf e UU Perbankan Syariah. Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah pada pokoknya membatasi atau melarang BPR Syariah untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Implikasinya, Pasal 21 huruf d UU Perbankan Syariah mengatur bahwa BPR Syariah tidak dapat memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah secara mandiri, melainkan hanya melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS.

Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Ahmad Wakil Kamal selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan pembatasan dan larangan untuk memberikan pelayanan jasa lalu lintas pembayaran membuat BPR Syariah tidak optimal dalam memberikan pelayanan perbankan kepada masyarakat terutama usaha mikro kecil untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Lebih lanjut Kamal mengatakan, Bank Indonesia menetapkan kebijakan National Payment Gateway atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang bertujuan mewujudkan sistem pembayaran nasional yang lancar, aman, efisien, dan andal, serta dengan memperhatikan perkembangan informasi, komunikasi, teknologi, dan inovasi yang semakin maju, kompetitif, dan terintegrasi.

“Dalam kebijakan tersebut, BPR Syariah tidak masuk sebagai pihak yang dapat terhubung langsung dengan GPN,” kata Ahmad Wakil Kamal.

Dengan adanya norma Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah, BPR Syariah tidak dapat menjadi pihak yang terhubung langsung dengan sistem kebijakan GPN.

“Jika ingin terhubung dengan sistem tersebut, maka BPR Syariah harus melalui Bank Umum (Konvensional) atau Bank Umum Syariah,” lanjut Kamal.

Biaya Tambahan

Hal tersebut seolah menempatkan posisi BPR Syariah sebagai sub-ordinat dari Bank Umum Syariah, sehingga menimbulkan perlakuan yang berbeda pada BPR Syariah yang notabene adalah bank yang juga memiliki peran yang sama dengan Bank Umum Syariah yaitu sama-sama memberikan dalam layanan di bidang keuangan masyarakat dan beberapa jenis usaha yang dijalankan oleh BPR Syariah pada umumnya memiliki kesamaan dengan Bank Umum Syariah seperti meliputi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyediakan pembiayaan bagi nasabah.

Pada sisi lain, banyak perusahaan non-bank seperti perusahaan financial technology (fintech) dan perusahaan telekomunikasi yang dapat memanfaatkan dan terhubung langsung dengan sistem kebijakan GPN. Padahal perusahaan fintech tersebut juga memiliki kesamaan dengan BPR Syariah dalam aktifitas kegiatan usahanya.

Kamal menuturkan, dilarangnya BPR Syariah melakukan kegiatan lalu lintas pembayaran mengakibatkan adanya biaya tambahan yang ditanggung BPR Syariah dan kemudian ditanggung oleh nasabah berupa biaya transaksi yang diwajibkan oleh Bank Indonesia (BI) ditambah atas biaya yang diwajibkan oleh Bank Umum Konvensional atau Syariah.

“Hal ini mengakibatkan tidak adanya perlakuan yang sama dibandingkan atas badan hukum lain yang dilindungi regulasi untuk dapat memilih menjalankan lalu lintas dana langsung melalui BI atau melalui Bank Umum Konvensional/Syariah atau perusahaan jasa keuangan,” jelas Kamal.

Dilarangnya BPR Syariah melakukan kegiatan lalu lintas pembayaran, menurutnya hal tersebut merupakan paksaan operasional BPR Syariah dalam menjalankan lalu lintas hanya melalui Bank Umum Konvensional/Syariah tanpa ada pilihan lain yang dapat memberi nilai tambah atau efisiensi bagi BPR Syariah. Dilarangnya BPR Syariah melakukan kegiatan lain mengakibatkan kesulitan dan beradaptasi melakukan inovasi mengembangkan dan memanfaatkan teknologi dengan memberikan pelayanan yang terbaik bagi nasabahnya yang mengakibatkan keuangan BPR Syariah menjadi tidak sehat sedangkan satu sisi nasabah bank umum syariah dan lain sebagainya justru dibolehkan melakukan kegiatan lalu lintas pembayaran dengan berbasis teknologi yang menyederhanakan mata rantai transaksi yang dapat menekan biaya operasional. Namun, jika kondisi ini dibiarkan tentu akan mengancam keberlangsungan usaha BPR Syariah.

Selain itu, sambungnya, Bank Umum Syariah dan BPR Syariah diwajibkan untuk memelihara tingkat kesehatan yang meliputi sekurang-kurangnya mengenai kecukupan modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas manajemen yang menggambarkan kapabilitas dalam aspek keuangan, kepatuhan terhadap Prinsip Syariah dan prinsip manajemen Islami, serta aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha Bank Syariah dan UUS.

ia juga mengatakan, Bank Syariah (termasuk BPR Syariah) yang berbentuk perseroan terbatas dimungkinkan untuk menghimpun modal dari dana masyarakat dalam rangka mengembangkan usahanya. Cara menghimpun modal tersebut dapat dilakukan melalui atau tanpa melalui bursa efek. Namun, mengingat kegiatan bank Syariah memiliki kekhususan, karena ada batasan-batasan prinsip Syariah, baik bursa maupun BAPEPAM harus mengeluarkan aturan-aturan khusus yang mengandung batasan-batasan Syariah.

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan pemohon agar memberikan penguatan argumentasi terkait pembatasan BPR Syariah ketika melakukan beberapa kegiatan. Selain itu, Suhartoyo menyarankan Pemohon untuk memperjelas alasan permohonannya.

Sementara Hakim Konstitusi Saldi Isra menasihati Pemohon untuk memperbaiki lebih detail mengenai seseorang yang dapat mewakili badan hukum ini berdasar AD/ART dan diperkuat dengan peraturan perundang-undangan lain.

Penulis: Utami Argawati. Sumber : https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18115&menu=2

50 views0 comments
bottom of page